Saturday, June 2, 2018

Perlukah Mainan Anak Cowok dan Cewek Dibedakan?


Ketika tengah berbelanja pakaian atau mainan untuk anak, mudah untuk membedakan mana lorong display untuk anak perempuan dan laki-laki. Warna merah muda, ungu, renda, dan pita mendominasi tidak benar satu sisi; pas segi lorong yang berseberangan penuh bersama warna biru, abu-abu, hitam, hijau, atau mobil-mobilan dan pistol-pistolan.


“Biru untuk laki-laki, merah muda untuk perempuan”, tidak ada orangtua yang tidak akrab bersama prinsip ini. Tapi, apakah norma gender ini benar mencerminkan perbedaan biologis yang menempel antara ke dua jenis kelamin, atau mereka hanya dibangun berdasarkan budaya dan pasar iklan?

Asal muasal “biru untuk laki-laki, pink untuk perempuan”

Dilansir berasal dari BBC, penelitian th. 2007 berasal dari Newcastle University menemukan bahwa warna favorit yang paling banyak menjadi pilihan bagi partisipan pria dan wanita dewasa adalah biru. Tetapi, umumnya wanita condong menilai warna-warna bersama nuansa kemerahan lebih tinggi daripada pria. Peneliti menduga bahwa perihal ini berakar berasal dari wanita prasejarah yang bertugas sebagai pengumpul buah beri, sehingga dapat lebih barangkali bagi wanita lebih familiar terhadap wana bersama nuansa kemerahan berasal dari buah beri.

Tidak lumayan paham mengapa segi ini wajib mempengaruhi apa yang seseorang suka dan tidak suka. Mungkin perihal ini perlihatkan penajaman peningkatan keterampilan membedakan warna-warna merah, tapi ada yang kurang berasal dari dugaan ini. Jika wanita berevolusi untuk mencintai warna merah akibat keterikatan bersama warna makanan ratusan ribu th. lalu, mestinya perihal ini menjadi karakteristik universal, tapi studi menemukan bahwa orang-orang suku Himba di Namibia tidak punyai favoritisme terhadap nuansa kemerahan di kalangan wanitanya.

Norma budaya terhitung bisa membentuk preferensi warna. Dalam masyarakat di mana prinsip “biru untuk laki-laki, merah muda untuk perempuan” menempel di tiap-tiap anggotanya, bayi-bayi dapat menghabiskan masa tumbuh kembang awalannya kenakan atau lebih-lebih dikelilingi oleh dua warna tersebut. Tetapi, studi th. 2011 perlihatkan bahwa bayi, terlepas berasal dari gender mereka, pilih benda-benda yang berwarna pink daripada warna-warna lain, dan yang berwujud bulat atau bundar. Setelah menginjak dua tahun, anak perempuan dapat condong lebih terbuka di dalam menyukai warna merah muda, dan terhadap usia empat tahun, anak laki-laki dapat merasa menolak warna pink bersama seluruh jiwa raga mereka. Inilah tolak ukur di mana anak-anak merasa paham gender mereka, untuk merasa membicarakannya, dan lebih-lebih lihat kurang lebih untuk melacak paham apa yang membatasi seorang laki-laki dan apa yang membatasi seorang perempuan.

Anda bisa berargumen bahwa pemilihan warna untuk bayi bukan merupakan masalah besar, tapi perihal ini bisa mempengaruhi langkah kita — sebagai orang dewasa — di dalam memperlakukan mereka. Ada satu studi besar yang bisa menunjang ide ini: kalau seorang bayi (tanpa diketahui gendernya lebih-lebih dahulu) dipakaikan pakaian berwarna biru, orang-orang di sekitarnya dapat mengasumsikan bahwa ia seorang bayi laki-laki, mengajaknya bermain permainan fisik dan mendorong mereka untuk bermain bersama palu plastik. Sementara pas ia dipakaikan bersama pakaian bernuansa merah muda, orang-orang dapat memperlakukannya bersama lemah lembut dan memilihkan boneka untuk teman mereka bermain.

Bagaimana bersama mainan — robot untuk anak laki-laki dan boneka untuk perempuan?

Tidak ada bukti ilmiah yang bisa menegaskan bahwa warna biru untuk laki-laki dan pink untuk perempuan. Justru, hingga awal abad 20-an tren warna berbalik: bayi laki-laki dapat dipakaikan pakaian bernuansa merah muda dan perempuan dipakaikan warna-warna biru — yang tambah memperjelas bahwa preferensi warna favorit didapatkan berasal dari sosialisasi dan pembelajaran, bukannya ‘setelan’ alami otak manusia.

Bagaimana bersama preferensi mainan?

Dilansir berasal dari The Guardian, Professor Melissa Hines berasal dari Cambridge University sukses mengidentifikasi kesenjangan gender di dalam preferensi mainan. Ada beberapa bukti bahwa otak anak laki-laki didesain untuk mengekspresikan minat awal terhadap permainan kasar dan fisik serta mainan yang bergerak (seperti mobil-mobilan), pas perempuan pilih boneka dan bermain peran. Tetapi, studi ini tidak konklusif sebab subyek studi merupakan bayi dan balita, sehingga sulit untuk dianalisa.

Walaupun bukan pedoman permanen, anak laki-laki lebih barangkali untuk lihat mainan mobil-mobilan pas di toko mainan dan anak perempuan dapat terpaku terhadap lorong yang penuh boneka warna-warni. Studi terdahulu menemukan bahwa perihal ini tidak hanya terkait bersama gender berasal dari anak berikut tapi terhitung paparan mereka terhadap hormon androgen (hormon “pria”) pas tetap di dalam kandungan. Penelitian ini lebih-lebih terhitung perlihatkan bahwa ada kemiripan preferensi berdasarkan gender terhadap group monyet, yang menyimpulkan bahwa preferensi mainan ditentukan oleh segi bawaan — entah seberapa besar andilnya.

Preferensi mobil-mobilan atau sikap hindari boneka atau mainan ‘feminin’ terhadap anak laki yang keluar di sesudah itu hari, perlihatkan bahwa sosialisasi atau perkembangan kognitif, turut memegang peran terhadap perbedaan preferensi mainan ini.

Adakah efek pemilihan warna dan mainan untuk anak terhadap tumbuh kembangnya?

Pengkotak-kotakan berbasis gender di toko-toko maupun online ditujukan untuk menunjang pelanggan menemukan apa yang mereka cari bersama mudah, tapi ternyata ada perihal lain di balik ide kemudahan ini: Perbedaan preferensi ini didorong oleh dugaan maha dashyat mengenai apa yang anak barangkali inginkan. Bukannya mendorong eksperimen dan menunjang anak untuk bermain bersama mainan apa-pun yang mereka pikir menyenangkan, masyarakat beranggap bahwa anak perempuan tidak tertarik bersama permainan yang mempertajam keterampilan spasial (seperti balok susun warna-warni) dan anak laki-laki tidak dambakan memainkan permainan yang mendorong ketajaman keterampilan verbal dan kreativitas (sseperti boneka dan bermain peran).

Sains terhitung udah mengajarkan kita mengenai efek merugikan yang dibawa oleh mainan bergender terhadap anak-anak. Dikutip berasal dari Quartz, Elizabeth Sweet, sosiologis sekaligus dosen di University of California, menyatakan bahwwa ada banyak studi yang menemukan bahwa mainan bergender membentuk preferensi mainan dan jenis bermain anak-anak.

Membatasi anak terhadap satu “gender” mainan bisa berdampak tidak baik jangka panjang

Mainan bergender halangi jangkauan keterampilan dan atribut diri yang bisa dijelajahi oleh anak laki-laki dan perempuan melaui bermain, mainan-mainan ini barangkali menahan anak-anak untuk mengembangkan minat diri, preferensi, dan bakat hingga batas maksimalnya. Aspek negatif berasal dari stereotip gender ini terhitung didokumentasikan bersama baik: lebih berasal dari 100 mainan yang bergender, jika mobil-mobilan tertentu laki-laki dan boneka Barbie untuk perempuan, terbukti kurang mendorong perkembangan kognitif dibandingkan bersama mainan netral.

Jangan sepelekan efek ini. Stereotip yang kita lihat berasal dari pengelompokkan mainan terkait bersama ketidakadilan yang tercermin di kehidupan nyata di luar sana. Tidak hanya mainan bergender bisa punyai efek benar-benar terhadap kompleks keterampilan diri yang dapat mendasari masa depan dan aspirasi karirnya — penelitian perlihatkan bahwa anak-anak udah punyai ide yang terlampau paham mengenai pekerjaan yang sesuai untuk anak laki-laki (pilot, pembalap, dokter, presiden, pesepak bola, dst) dan perempuan (ibu tempat tinggal tangga, model); ide-ide yang dapat terlampau sulit untuk diubah di sesudah itu hari — yang terhadap pada akhirnya dapat mempengaruhi struktur berasal dari angkatan kerja.

Dengan kata lain, memfokuskan anak-anak perempuan terhadap permainan tertentu perempuan saja bisa artinya Anda secara tidak langsung mengajarkan mereka untuk tumbuh dewasa menjadi wanita yang tunduk, tenang, lemah, tidak kompeten, dan keibuan yang mengutamakan kecantikan dan glamor, memasak di tempat tinggal dan mengurus anak adalah dua target utama hidup; pas anak laki-laki percaya mereka wajib menjadi seorang khusus yang kasar, gaduh, dan hanya tertarik terhadap kesibukan yang berorientasi aksi demi hindari label “kewanitaan” atau “lemah”. Hasilnya, penguatan stereotip gender yang menunjang ide usang terhadap maskulinitas dan feminitas, yang bisa mempunyai konsekuensi ketidaksetaraan gender yang berbahaya — baik secara sosial, ekonomi, maupun di mata hukum (misalnya, kekerasan di dalam tempat tinggal tangga yang dialami oleh wanita atau pria “tidak barangkali menjadi korban pelecehan seksual” dan tidak bisa mendapat bantuan yang dibutuhkan sebagai efek berasal dari ide ini).

Menetralisir gender berasal dari produk mainan dan permainan dapat memungkinkan anak-anak, dan bisa dibilang masyarakat di dalam gambaran yang lebih besarnya, untuk menuai manfaatnya di dalam jangka panjang: pas kita menawarkan anak-anak kita pilihan yang mirip berasal dari sejak dini, secara otomatis mereka dapat tetap meminta dan menuntut kesetaraan di dalam kehidupan personal, sosial, dan profesional mereka.


Jadi, biarkan anak pilih mainan yang ia sukai. Anak-anak tidak boleh dipaksa untuk tunduk terhadap ide kuno orangtua yang didasari oleh konstruksi sosial berasal dari peran gender.

No comments:

Post a Comment